Sabtu, 12 Februari 2011

BATAK only

Arisan, pesta adat dan melayat orang meninggal. Inilah kegiatan rutin orang Batak, khusus dari subetnik TOBA. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Tidak sedikit pula orang Batak di Jakarta dan sekitarnya menjadi satu komunitas ulaon (perhelatan) dengan orang Batak di Bandung, terutama setelah hadirnya Tol Cipularang sebagai akses yang mempermudah mobilitas, membuat intensitas dan ekstensitas kesibukan di kalangan orang Batak ini makin tinggi. Nyaris tiada minggu tanpa arisan, tanpa pesta, tanpa besuk orang sakit atau melahirkan dan melayat orang meninggal.



Tentu ini membutuhkan ongkos yang relatif banyak. Semoga orang Batak di kota besar tidak takut menjadi orang Batak. Sebab jika tidak mengikuti aktivitas rutin seperti itu, ada kesan hidup belum lengkap sebagai orang Batak. Terutama dengan sebutan 'orang yang sukses' di parserahan (perantauan).



ARISAN



Bagi orang Batak, mengikuti arisan keluarga sepertinya sesuatu yang wajib. Empat minggu dalam satu bulan tidak cukup waktu, sebab arisan yang diikuti bisa sampai sepuluh komunitas arisan, mulai dari arisan keluarga suami, arisan hula-hula (komunitas marga keluarga istri dan keluarga ibu), arisan hula-hula ni hula-hula (semarga keturunan ibu mertua), arisan parsahutaon (tetangga satu komplek perumahan), arisan saoppu (satu kakek), arisan paguyuban (satu bona pasogit) dan berbagai komunitas arisan lainnya.



Uniknya, arisan pada umumnya bagi orang Batak bukan untuk mengumpulkan uang, tapi justru untuk menghabiskan uang, yang penting bisa bersilaturahmi dan makan bersama dengan para kerabat secara bersafari dan terjadwal dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tidak jarang arisan yang terkumpul hanya Rp. 1 juta, namun biaya konsumsinya lebih dari Rp. 3 juta.



Sedangkan bagi yang tidak mendapat arisan, tentu juga saban arisan harus mengeluarkan kocek ekstra yang tidak sedikit, di luar biaya arisan itu sendiri. Pada umumnya komunitas arisan orang Batak, anggotanya tersebar di Jabodetabek bahkan Bopunjur, Karawang, Purwakarta hingga Bandung . Tinggal hitung, kalau membawa kendaraan pribadi, mulai dari biaya bahan bakar, toll hingga parkir. Kalau menggunakan angkutan umum, berapa biaya taksi, kereta, angkot atau ojek. Tapi itu semua wajib hukumnya demi aktivitas arisan yang sudah menjadi tradisi yang sudah tidak terpisahkan dari kehidupan rutin orang Batak di parserahan.



PESTA ADAT



Di Jabodetabek ada puluhan gedung khusus maupun umum yang dapat digunakan untuk pesta-pesta adat orang Batak, baik itu untuk acara pernikahan, bona taon, ulangtahun paguyuban marga/parsahutaon dan sebagainya. Belakangan ini, di Depok, Cianjur hingga Bandung mulai menjamur gedung-gedung pesta Batak, mulai dari kapasitas 300 seat hingga 1500 seat; mulai dari aula gereja, convention room, ball room hotel, gedung/balai/panti pertemuan pemerintahan maupun militer hingga sopo godang pesta Batak; mulai dari yang non AC hingga full AC; mulai dari Rp. 3 juta hingga Rp. 50 jutaan.



Jumat dan Sabtu adalah hari paling pavorit bagi orang Batak menyelenggarakan pesta adat. Meski sudah ada puluhan gedung pesta, jangan harap mudah untuk mendapatkannya, apalagi untuk pesta di hari Jumat dan sabtu. Ada kesan, untuk menentukan kapan satu keluarga Batak menyelenggarakan pesta adalah pengelola gedung. Idealnya, gedung pesta Batak sudah harus reserved setidaknya 18 bulan sebelum hari H. Fantastis!



Mengapa gedungnya harus khusus? Banyak perbedaan pesta adat orang Batak (terutama Batak Toba) dengan non Batak. Selain durasi (waktu berlangsungnya) pesta yang luarbiasa lama, juga format party yang tidak menggunakan pola standing party, harus banyak meja yang diatur dan cara menghidangkan konsumsi yang lain dari yang lain. Selain itu, penyelengaraan pesta yang sangat berisik, karena setiap pihak bisa saling berbicara secara simultan lewat pengeras suara. Maklum, di seantero negeri ini orang Batak terkenal siraja hata (itu sebabnya profesi kepengacaraan dikuasai secara signifikan oleh kaum siraja hata dari Tapanuli ini). Itulah seputar suasana pesta Batak.



Terus masalah biaya. Besarnya tentu relatif, tergantung jumlah undangan dan gedungnya dimana. Di kota besar, masalah CINAMOT justru tidak begitu berpengaruh secara signifikan. Malah faktor gengsi justru lebih berperan. Tidak dipungkiri, di seantero negeri ini, orang Batak memiliki gengsi paling tinggi dalam menyelenggarakan pesta (walau dalam kehidupan sehari-hari orang Manado merupakan jawaranya hingga ada anekdot yang mengatakan Manado sebagai Menank Nampank Doank). Apalagi kalau yang menyelenggarakan pesta itu dinilai sudah tajir alias sukses. Biayanya bisa mencapai Rp. 500 juta.



LAHIR DAN MENINGGAL



Mulai dari lahir, menikah hingga meninggal bagi orang Batak ada prosesinya. Ada pesan agama Batak (baca; adat Batak) yang harus disampaikan melalui prosesi kepercayaan agama Batak (prosesi adat Batak). Prosesi ini biasanya diselenggarakan dengan juga melibatkan kepercayaan Kekristenan yang dianut mayoritas masyarakat Batak Toba. Itu sebabnya, sebagian besar masyarakat Batak Toba adalah penganut paham sinkretisme (adat Batak dan Kekristenan) yang percaya ajaran Debata Mulajadi Na Bolon sekaligus ajaran Messiah.



Apabila anak lahir, biasanya akan dilangsungkan beberapa kali 'selamatan' sesuai adat yang diajarkan Oppu Mulajadi Na Bolon. Terlebih jika anak pertama. Mulai dari komunitas marga pihak istri (hula-hula, selaku messiah perantara antara manusia atau boru/bere dengan Debata Mulajadi Na Bolon), hingga komunitas marga pihak suami dan komunitas marga dari pihak kakek nenek akan datang membawa sesajen yang disebut aek ni utte.



Orangtua sibayi harus menyiapkan makanan (sebagai bagian dari sesajen) untuk itu. Salah satu sesajen paling penting adalah harus memotong babi untuk dipersembahkan kepada hula-hula (messiah) dalam bentuk tudu-tudu ni sipanganon. Sementara komunitas marga dari pihak hula-hula (messiah) yang kehadirannya mewakili Tuhan Mulajadi Na Bolon harus menyediakan pasu-pasu (berkat) yang dimanifestasikan dalam bentuk dekke arsik dan ulos.



Mungkin sudah banyak yang tahu kalau orang Batak tewas, khususnya bagi yang sudah tua, yang sudah saur matua (punya cucu dari anak laki maupun perempuan), sangat banyak membutuhkan biaya. Mungkin hanya orang Bali dan Toraja yang bisa menyamai besar biaya bagi prosesi orang mati.



Belum lama ini, di Muara tepian Danau Toba ada orangtua sepuh meninggal dunia. Biaya yang dikeluarkan anak cucunya konon sampai Rp. 520 juta. Sebab jenazah orangtua tersebut disemayamkan selama tujuh hari tujuh malam dengan memberi makan tamu dari seantero kabupaten, termasuk dari perantauan dalam dan luar negeri. Setiap hari mereka memotong 2 ekor kerbau dan beberapa ekor babi. Saat pemakaman mereka memotong lebih banyak lagi kerbau. Kalau selama seminggu mereka memotong 15 ekor kerbau dan 25 ekor babi, tentu alokasi biaya untuk pengadaan daging saja sudah lebih dari 200an juta.



Memang aneh bagi orang yang tidak mengerti. Di tempat orang mati ada pesta meriah. Setiap hari anak cucu orang mati ini menari atau manortor diiringi musik gondang sabangunan, alat musik tradisional Batak. Tarian ini ditujukan untuk menghantar roh sang orangtua menuju keharibaan Debata Mulajadi Na Bolon, sesembahan orang Batak sebelum Yesus sang Messiah. Bahkan belakangan ini banyak diiringi musik moderen, walau ditentang oleh kelompok Parmalim, kelompok orisinal Batak yang tidak menganut sinkretisme. Kelompok ini murni menyembah hanya kepada Debata Mulajadi Nabolon. Menurut kelompok Parmalim, somba-somba (pujian dan penyembahan) yang disampaikan melalui tor-tor dengan alat musik modern tidak berkenan di hati sang Debata Mulajadi Na Bolon.



Pesta kematian seperti ini tidak hanya diselenggarakan di bona pasogit (kampung halaman). Bagi orang Batak Jakarta juga wajib melakukan, asal sudah memenuhi syarat yaitu sudah suar matua. Biaya akan membengkak jika jenazah yang meninggal di Jakarta dibawa ke kampung halaman. Keluarga harus menyediakan budget untuk carter pesawat terbang. Carter pesawat Boeing 737-200 dari Bandara Halim Perdana Kususmah ke Bandara Polonia Medan bisa mencapai Rp. 50 juta. Apabila carter pesawat CN 235 dilanjutkan ke Bandara di Silangit, Gunung Tua atau Pinang Sori, tentu harus nguras kocek setidaknya Rp. 7.5 juta lagi. Ini menjadi perhelatan akbar bagi orang Batak.



SOLIDARITAS BATAK



Melihat fenomena di atas, sepertinya menjadi orang Batak itu terkesan sangat berat dan sulit. Namun sebenarnya tidak demikian. Ada yang membanggakan bagi orang Batak yang tidak akan pernah dimiliki oleh komunitas apa pun di luar Batak, yaitu SOLIDARITAS TINGGI. Bagaimanapun temperamental orang Batak yang getol marbada muccung (bertengkar) segetol itu pulalah mereka bersolider. Soliditas di tengah komunitas Batak tidak ada duanya.



Jika ada yang tewas, biasanya sanak famili atau kerabat dari berbagai pelosok berdatangan melayat. Mereka bahu membahu untuk membantu keluarga yang kemalangan. Kerap kali yang datang mengumpulkan uang yang disebut tekkenles. Bila keluarga bersangkutan orang tak mampu, maka rasa solidaritas ini akan semakin tinggi. Bantuan akan datang mengalir. Namun untuk yang ini ada syaratnya, yaitu yang kemalangan harus orang yang rajin ke arisan, pesta adat dan manikkir nasorang (termasuk melayat orang meninggal).



Demikian juga saat menyelenggarakan pesta adat. Jika benar-benar tak mampu, asal mau berterus terang, sanak famili akan bahu membahu membantu. Tak perlu khawatir pesta adatnya keteter. Bila ada kekurangan biasanya orang Batak sangat mudah memahaminya. Syaratnya itu tadi, rajin membesuk, rajin melayat, rajin ke pesta adat dan tentu ikut arisan. Itulah orang Batak! (hpn/binsar/bc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar